Mari Kita Selalu Bercermin Diri


BENDA apa yang setiap orang tak pernah lupa untuk menatapnya setiap hari? Mungkin macam-macam jawabannya, tetapi satu yang pasti dilihat setiap hari oleh manusia di seluruh dunia adalah cermin.


Benda ini paling sering dilihat oleh siapa pun, terkhusus setelah berpakaian rapi, merias wajah, atau pun sekedar merapikan sisiran rambut. Jadi, tak satu pun manusia yang tak punya cermin.


Untuk memastikan dasi di leher benar-benar lurus, seseorang perlu cermin. Untuk melihat kerapian pakaian yang dikenakannya, seseorang perlu cermin. Memang, cermin perlu untuk memperbaiki yang belum baik, sehingga seseorang bisa tampil secara baik dan mengesankan.


Manusia bisa dengan cepat mengubah posisi dasi ketika terlihat miring, bahkan segera mengganti dengan dasi yang lain, jika warnanya terlihat tak serasi dengan kemeja yang dikenakannya.


Seorang gadis bahkan tak jemu-jemu melihat cermin sambil memantas-mantaskan bibirnya yang dipoles dengan lipstik merah delima. Menariknya, semua itu dilakukan dengan suka rela.


Fakta keseharian ini menunjukkan dengan gamblang bahwa manusia tidak bisa lepas dari cermin, terutama mereka yang ingin tampil maksimal.


Hanya cerminlah satu-satunya benda yang bisa menjelaskan kekurangan pada diri seorang manusia secara apa adanya.


Itulah mengapa cermin tidak saja ada di dalam rumah, tetapi juga pada kendaraan bermotor yang kita kenal dengan spion.


Spion membuat seorang pengemudi tak perlu memutar kepala untuk melihat ke belakang dan memastikan kendaraannya terhindar bahaya dari samping dan belakang. Dahsyat bukan fungsi sebuah cermin?


Jika cermin dalam pengertian fisik saja memiliki fungsi dan peran sangat besar, bagaimana dengan cermin dalam pengertian hati yang banyak menjadi kajian sufi dan merupakan bagian paling inti dalam kehidupan ini?


Nabi Muhammad adalah manusia yang hatinya benar-benar terjaga sebagai cermin yang bersih, jernih dan bening. Ketika di caci, ia tersenyum. Bila ada kesempatan, ia segera membalas dengan kebaikan yang tak terbayangkan. Ketika dinasehati ia bergembira.


Ketika ada masalah ia bermusyawarah. Sama sekali tak ada rasa arogan dalam dirinya, sehingga semua sahabatnya harus diam tak berpendapat. Ketika ada saran ia segera mempertimbangkan dan sejauh logis dan objektif, maka saran itulah yang diterapkan. Ketika aturan dilanggar ia marah dan bertindak tegas.


Bahkan dalam kesehariannya, sebagai pemimpin ia tak pernah bisa tenang dengan kesengsaraan rakyat yang dipimpinnya. Ia rela tidak makan tiga hari, asal rakyatnya kenyang. Bahkan, keluarganya pun tidak didahulukan dalam soal makanan dan kemudahan hidup.


Ketika Fathimah, putri terkasihnya datang mengemukakan kesulitan hidupnya, Nabi Muhammad memberinya sebuah dzikir, bukan makanan apalagi kemudahan. "Putriku, sedih hatiku melihat kondisimu. Tetapi semua ini lebih dibutuhkan oleh orang lain (ashabus shuffah), sungguh ini tak layak untuk kuberikan kepadamu, sementara mereka tidak bisa makan dengan kenyang".


Nabi Muhammad sama sekali tidak berpikir besaran gaji, peluang dipilih untuk menjadi presiden, apalagi membeli kendaraan mewah dan memanjakan anak-anaknya dengan harta rakyat. Itulah manusia sejati. Lantas bagaimanakah dengan situasi umum hari ini?


Maka dari itu, marilah menjadi manusia sejati, yang tak sekedar memantas-mantaskan diri dalam penampilan tetapi juga memantaskan akhlak dan perilaku dalam pergaulan kehidupan, sebagai wujud bahwa kita masih punya iman.


Dan, itu semua hanya akan terpenuhi manakala setiap jiwa sering membersihkan cermin hidupnya, yakni hati. Jika hati bening, insya Allah ucapan pun akan menentramkan. Tetapi jika hati kotor, pikiran pun akan membahayakan. Maka dari itu, mari kita sering-sering menata diri di hadapan cermin sejati.


Bukankah kesantunan lebih kita gemari daripada arogansi? Bukankah kepedulian lebih menyelesaikan masalah daripada keegoisan? Bukankah banyak mendengar lebih membuat kita peka daripada banyak bicara? Terakhir, bukankah kita lebih nyaman dengan kejujuran daripada kebohongan? Sama seperti kita sedang menyisir rambut, bukankah kita akan tahu bagian mana yang perlu dirapikan justru saat kita berada di depan cermin?


Oleh IMAM NAWAWI (Guru di Pesantren Hidayatullah)