Tokoh Adat: Kehidupan Beragama di Papua Barat Sangat Baik


Kehidupan kebebasan beragama di Papua Barat sangat baik. Ini tidak lepas dari sejarah masa lalu dimana pimpinan wilayah ini menanamkan nilai-nilai saling menghormati soal keyakinan beragaman.

Ketua Adat Malamoi (Papua Barat), Silas Ongge Kalami MA mengatakan masuknya pekabaran Injil (agama Kristen) yang dimulai 28 Oktober 1927 tidak lepas dari peran kepala wilayah (sekarang seperti camat--) Sorong, warga Islam putra asli Papua, Mohammad Sangaji Gonof Malibela. Pekabaran Injil itu sekaligus memasukkan pendidikan umum bagi warga suku Moi, Papua Barat, dan sekitarnya.

Peranan Mohammad Sangaji Ganof Malibela itu didukung warga Muslim pulau Duum, pusat Kota Sorong. Juga tentunya warga Kristen Maluku dipimpin oleh Leonard Wattimena.

Lebih dari itu dan yang utama, adalah bahwa saat itu pemerintahan ada di Sultan Tidore (kerajaan Islam) yang menguasai Maluku dan Papua.
"Seandainya, pada saat itu, Sultan mau mengislamkan tanah Moi dan Papua Barat serta Papua umumnya, tidak ada orang bisa protes. Kenyataannya, Sultan Tidore tak pernah memaksa kehendak orang Papua memeluk agamanya," kata Kalami.

Sebelum tahun 1927, itu di tanah Papua Barat dan Papua umumnya masyarakat masih hidup di zaman primitif. Ketika itu, masyarakat Papua dan Papua Barat mempunyai pusat kendali pemerintahan berada di Tidore, Maluku Utara, daerah Muslim taat. Tidak satu kalipun, ada titah (perintah) Sultan Tidore, memasukkan tokoh agama Islam untuk menyiarkan agama terbesar di Indonesia (Islam--Red) ke pedalaman Papua Barat dan Papua umumnya.

Ini, suatu kenyataan, kata Kalami, yang tak bisa dipungkiri siapa pun orang asli Papua. Akhirnya, Sultan Tidore, melalui Mohammad Sangaji Gonof Malibela, yang pada saat itu sebagai kepala wilayah Kesultanan Tidore untuk daerah kepala burung, Papua Barat, pada 27 Okber 1927, resmi memasukkan guru-guru Injil dari Maluku dan daerah lainnnya ke pedalaman Papua Barat.

"Terbukalah pengetahuan orang-orang asli Papua Barat, mulai dari pesisir pantai hingga ke pedalaman terpencil terhadap dunia luar. Antara lain, warga asli Papua Barat dan Papua mulai mengenal pendidikan umum (tulis baca) bahasa Indonesia (dulu bahasa melayu). Dan, lebih dari itu masyarakat Papua Barat dan Papua lebih memperdalam dunia pendidikan umum dan pendidikan secara modern tentang agama Kristen," kata Kalami.

Orang-orang berpendidikan ketika itu, umumnya dari luar Papua seperti Maluku , didatangkan ke Papua. Mereka, mengabdi sebagai guru sekolah merangkap guru injil yang menyebarkan agama Kristen, kepada warga pedalaman yang ketika itu belum mengenal dunia luar.

Sumber: Suara Karya
Foto ilustrasi: Kegiatan apel pagi santri putri Pesantren Hidayatullah Manokwari